1. Berapa
jumlah media massa yang dikuasai Rupert Murdoch?
Rupert Murdoch, Raja Media dari Negara
Paman Sam
Rupert
Murdoch membangun kerajaan bisnis medianya dengan nama News Corporations, salah
satu perusahaan media terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Perusahaan yang
dimiliki NewsFOX dan Harper Collins di Amerika Serikat dan BSkyB di Britania
Raya. Ia sebelumnya merupakan warga negara Australia, namun kemudian secara
resmi menjadi warga negara Amerika Serikat terkait dengan keberadaan bisnisnya
di negara Paman Sam tersebut.
Berikut sejarah perkembangan
bisnis media yang dibangun Rupert Murdoch dengan cara mengakuisisi beberapa
perusahaan di seluruh dunia yang digabungkan ke dalam induk perusahan News
Corporation miliknya. News Corporation adalah perusahaan publik yang
dipegang oleh Rupert Murdoch. Didirikan pada tahun 1979 di Australia,
perusahaan ini dipindahkan ke Amerika Serikat pada tahun 1980. Perrusahaan ini
memiliki ribuan media massa, seperti pesaing globalnya, General
Electric. Fox News Channel adalah saluran berita terkini yang dikemas
cermat oleh Fox Broadcasting Company. Dirintis oleh Rupert Murdoch, saluran ini
didirikan pada tanggal 7 Oktober 1996, dengan bantuan dari CBS, NBC dan
ABC. 20th Century Fox, kependekan dari Twentieth Century Fox Film
Corporation, adalah salah satu studio film utama, terletak di Century City,
California, Amerika Serikat, persis di barat Beverly Hills. Studio ini
merupakan anak perusahaan News Corporation, konglomerat media yang dikuasai
oleh Rupert Murdoch.
Perusahaan ini merupakan hasil
dari penggabungan dua perusahaan, Fox Film Corporation didirikan oleh William Fox
pada 1914, dan Twentieth Century Pictures, dimulai pada 1933 oleh Darryl F.
Zanuck, Joseph Schenck, Raymond Griffith dan William Goetz. The Times
adalah surat kabar harian yang diterbitkan di Inggris Raya sejak tahun 1785,
ketika itu masih dikenal dengan nama The Daily Universal Register. Surat
kabar ini dan saudaranya The Sunday Times diterbitkan oleh Times Newspapers
Limited, yang merupakan bagian dari News International. News International
dimiliki secara keseluruhan oleh kelompok News Corporations, yang dipimpin oleh
Rupert Murdoch. The Times adalah nam asli dari surat kabar ini, dan
meminjamkan namanya pada berbagai surat kabar di beberapa penjuru dunai,
seperti The New York Times, The Times of India, dan The Irish Times. Untuk
lebih khusus, jika diterbitkan untuk daerah di luar UK sebagai London Times.
Surat kabar ini aslinya mempergunakan jenis huruf Times New Roman, yang
dikembangkan oleh Stanley Morison dari The Times bekerjasama dengan Monotype
Corporation yang sudah terkenal akan percetakannya. (bn)
2. Siapa saja tokoh – tokoh dunia yang
menguasai industri media?
- Mortimer
Zuckerman, pemilik NY Daily News, US News & World Report .
- Leslie
Moonves, presiden televisi CBS
- Jonathan
Miller, ketua dan CEO divisi AOL-Time-Warner
- Neil
Shapiro, presiden NBC News
- Jeff
Gaspin, Wakil Presiden Eksekutif, Pemrograman, NBC
- David
Westin, presiden ABC News
- Sumner
Redstone, CEO dari Viacom, “memiliki media terbesar dunia” (Ekonom, 11/23/2),
memiliki kabel Viacom, CBS dan MTV di seluruh dunia, persewaan video Blockbuster
dan Black Entertainment TV.
- Michael
Eisner, pemilik utama dari Walt Disney, Capitol Cities, ABC.
- Rupert
Murdoch, Pemilik Fox TV, New York Post, London Times, News of the World
- Mel
Karmazin, presiden dari CBS
- Don
Hewitt, Direktur Eksekutif 60 Minutes, CBS
- Jeff
Fager, Direktur Eksekutif, 60 Minutes II. CBS
- David
Poltrack, Wakil Presiden Eksekutif, Penelitian dan Perencanaan, CBS
- Sandy
Krushow, Ketua Fox Entertaiment
- Llloyd
Braun, Ketua ABC Entertaiment
- Barry
Meyer, Ketua Warner Bros
- Sherry
Lansing. Presiden Komunikasi Paramount dan Ketua Paramount Pictures Grup
Motion.
- Harvey
Weinstein, CEO. Miramax Films.
- Brad
Siegel., Presiden, Turner Entertainment.
- Peter
Chernin, orang kedua Rupert Murdoch di News. Corp
- Marty
Peretz, pemilik dan penerbit New Republi
- Arthur
O. Sulzberger, JR., Penerbit NY Times, Boston Globe dan publikasi lainnya.
- William
Safire, kolumnis untuk NYT.
- Tom
Friedman, kolumnis untuk NYT.
- Charles
Krauthammer, kolumnis untuk Washington Post.
- Richard
Cohen, kolumnis untuk Washington Post
- Jeff
Jacoby, kolumnis untuk Boston Globe
- Norman
Ornstein, American Enterprise Inst., Kolumnis rutin untuk USA Today, penulis
berita analis untuk CBS, dan co-presiden dengan Leslie Moonves, Komite
Penase\ihat Kepentingan Umum Kewajiban Produsen
Digital TV
- Arie
Fleischer, sekretaris pers Dubya.
- Stephen
Emerson, pilihan pertama setiap outlet media sebagai pakar terorisme dalam
negeri.
- David
Schneiderman, pemilik dan Village Voice New jaringan Times “mingguan alternatif.”
- Dennis
Leibowitz, kepala UU Mitra II,
- Kenneth
Pollack, untuk analis CIA, direktur Pusat Saban untuk Kebijakan Timur Tengah,
menulis op-eds di NY Times, New Yorker
- Barry
Diller, ketua Amerika Serikat Interaktif, bekas pemilik Universal Entertaiment.
- Kwnnwth
Roth, Direktur Eksekutif Human Rights Watch
- Richard
Leibner, menjalankan N.S. Bienstock
- Terry
Semel, CEO, Yahoo, Warner Bros
- Mark
Golin, VP dan Direktur Kreatif, AOL
- Warren
Lieberford, Pres., Warner Bros Home Video Div. AOL-timewarner
- Jeffrey
Zucker, Presiden NBC Hiburan
3. Bagaimana teknologi komunikasi
mendukung kerrja korporasi di berbagai negara secara terpisah?
Dengan
adanya Kantor Virtual (Virtual Office), teknologi komunikasi dapat mendukung
kerja korporasi di berbagai negara secara terpisah. Didalam Virtual Office
terdapat tim yang saling bekerja sama yang disebut dengan tim maya atautim
yang terpisah secara geogfaris. Anggota tim virtual berkomunikasi secara
elektronik. Dengan cara itu mereka dapat dengan mudah mendapatkan informasi
yang mereka butuhkan. Begitu juga sebaliknya, mereka juga dapat memberikan
informasi kepada anggota tim lain dengan mudah, sehingga pekerjaan yang mereka
kerjakan dapat diselesaikan dengan baik walaupun tidak bertatap muka, melainkan
dengan mengandalkan teknologi komunikasi yang saat ini semakin
berkembang. Mereka bekerja di seluruh waktu, ruang, dan dengan batas-batas
organisasi diperkuat oleh link webs komunikasi teknologi. Karena terpisah
secara geografis, maka organisasi boleh menyewa dan mempertahankan orang-orang
terbaik tanpa memperhatikan lokasi.
4. Berapa Banyak Korporasi media massa
yang ada di Indonesia ?
Di
bidang pertelevisian, selain jaringan TVRI, terdapat 10 (sepuluh) stasiun
televisi swasta, yaitu RCTI, TPI, SCTV, ANTEVE, INDOSIAR, METRO TV, TRANSTV,
TRANS7, tvOne, dan GLOBAL TV. Di samping itu kini telah beroperasi 7 televisi
berlangganan satelit, 6 televisi berlangganan terrestrial, dan 17 televisi
berlangganan kabel. Dunia penyiaran radio pun mengalami kemajuan meskipun tidak
sepesat televisi. Hingga akhir tahun 2002, terdapat 1188 Stasiun Siaran Radio
di Indonesia. Jumlah itu terdiri atas 56 stasiun RRI dan 1132 buah Stasiun
Radio Swasta. Perkembangan industri dan bisnis penyiaran juga telah mendorong
tumbuh pesatnya bisnis rumah produksi (Production House/PH). Sebelum krisis
ekonomi, tercatat ada 298 buah perusahaan PH yang beroperasi di mana sekitar
80% di antaranya berada di Jakarta. Pada saat krisis, khususnya antara tahun
1997-1999, jumlah PH yang beroperasi menurun drastis sampai sekitar 60%. Pada
tahun 2003, bisnis PH secara perlahan kembali bangkit yang antara lain didorong
oleh peningkatan jumlah televisi swasta. Kebutuhan TV swasta akan berbagai
acara siaran, mulai acara hiburan sampai acara informasi dan pendidikan, banyak
diproduksi oleh PH lokal. Serta dalam bisnis media penerbitan, khususnya surat
kabar dan majalah, juga mengalami peningkatan khususnya dalam hal kuantitas.
Pada tahun 2000, menurut laporan MASINDO, terdapat 358 media penerbitan. Jumlah
tersebut terdiri atas 104 surat kabar, 115 tabloid, dan 139 majalah. Hal
menarik dalam penerbitan media massa cetak ini adalah semakin beragamnya
pelayanan isi yang disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan segmen khalayak
pembacanya.
5. Unsur persaingan bisnis apa yang
sekarang dilakukan media massa?
Konglomerasi Media dan Ekonomi Politik
Media
Harian
Umum Koran Jakarta edisi 27 Februari 2013 kemarin memuat artikel saya berjudul:
Konglomerasi Media [atau bisa dibaca di sini: di mana saya sangat
merisaukan di mana para pemilik media massa yang saat ini berprofesi sebagai
politisi, memanfaatkan jaringan media massa milik mereka untuk kepentingan
meraih karier politik; yakni menguasai “Istana Negara”. Judul aslinya
adalah Konglomerasi Media, Tarik Ulur Misi Bisnis-Politik; namun oleh
editornya—subjudulnya “dipenggal” menjadi sebagaimana yang tertulis di atas.
Dengan membuat panjang judul artikel saya di atas, saya ingin menekankan bahwa
media massa adalah hasil perkawinan genetis antara kepentingan ekonomi [bisnis]
dan kepentingan politik [kekuasaan]. Hal ini relevan dengan pemikiran teori
ekonomi politik media yang dilontarkan oleh para pemikir dalam
kelompok Frankfurt School Jerman yang beraliran
“kiri-kritis-radikal”.
Di
Indonesia kini, teori ekonomi media sudah terbukti benar karena melahirkan para
konglomerat media; yang kaya gara-gara bisnis medianya. Dan teori politik media
juga sudah terbukti; karena para pemilik media massa itu sudah banyak yang
menjadi pejabat eksekutif [menteri]. Kita tinggal menunggu klimaksnya, apakah
pada Pilpres 2014 mendatang; akan menghasilkan para eksekutif
yang notabene-nya mereka pemilik media? Jika itu benar terjadi; maka sudah
lengkaplah kesahihan “teori ekonomi politik media” ini. Sehingga sangat
rasional, di masa depan akan tercipta “rezim media” di mana kekuasaan eksekutif
[presiden, wakil presiden dan menterinya], bahkan legislatif dan yudikatifnya
akan dikuasai oleh para pemilik media massa.Mengapa saya memiliki analisis
model demikian. Mari kita tilik peta industri media massa [cetak dan
elektronik] di Indonesia dewasa ini. Bahwa faktanya, saat ini [Sabtu Wage,
29 Juni 2013]; berbagai perusahaan media massa cetak dan elektronik yang ada di
Indonesia hanya dikuasai oleh 13 perusahaan raksasa saja. Siapakah mereka?
Mereka adalah MNC Group dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo mempunyai 20 stasiun
televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak dan 1 media online; Kompas
Gramedia Group milik Jacob Oetomo memiliki 10 stasiun televisi, 12 stasiun
radio, 89 media cetak dan 2 media online; Elang Mahkota Teknologi milik Eddy
Kusnadi Sariaatmadja mempunyai 3 stasiun televisi dan 1 media online;
sedangkan Mahaka Media dipunyai oleh Abdul Gani dan Erick Tohir mempunyai 2
stasiun televisi, 19 stasiun radio, dan 5 media cetak; CT Group dipunyai
Chairul Tanjung memiliki jaringan 2 stasiun televisi, 1 media online.
Grup
perusahaan lainnya adalah Beritasatu Media Holdings/Lippo Group yang dimiliki
James Riady mempunyai 2 stasiun televisi, 10 media cetak dan 1 media online;
Media Group milik Surya Paloh memiliki 1 stasiun televisi dan 3 media cetak;
Visi Media Asia (Bakrie & Brothers) milik Anindya Bakrie mempunyai 2
stasiun televisi dan 1 media online; Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan dan
Azrul Ananda mempunyai 20 stasiun televisi, 171 media cetak dan 1
media online; MRA Media milik Adiguna Soetowo dan Soetikno Soedarjo
memiliki 11 stasiun radio, 16 media cetak; Femina Group milik Pia Alisyahbana
dan Mirta Kartohadiprodjo mempunyai 2 stasiun radio dan 14 media cetak; Tempo
Inti Media milik Yayasan Tempo memiliki 1 stasiun televisi, 1 stasiun radio, 3
media cetak dan 1 media online; Media Bali Post Group (KMB) milik Satria
Narada mempunyai 9 stasiun televisi, 8 stasiun radio, 8 media cetak dan 2
media online (Nugroho,Yanuar. dkk. 2012 dan Lim, M. 2012).
Jika
dipetakan kembali, di luar 13 grup korporasi media massa nasional di atas;
terdapat perusahaan media raksasa milik negara [milik rakyat] yakni TVRI, RRI
dan Kantor Berita Antara; yang selama ini penggunaannya lebih diberdayakan
sebagai “kepanjangan tangan” dari pemerintah yang sedang berkuasa, sehingga
publik (masyarakat) merasa kurang memilikinya. Dan juga di berbagai daerah, hingga
kini masih hidup perusahaan media lokal yang terlepas dari struktur manajemen
13 perusahaan raksasa nasional di atas. Mereka adalah KR Group (SKH Kedaulatan
Rakyat, Koran Merapi Pembaruan, SKM Minggu Pagi, KR Radio), Pikiran Rakyat
Group (Pikiran Rakyat, Galamedia, Pakuan, Priangan, Fajar Banten, Radio
Parahyangan, Percetakan PT Granesia Bandung), Suara Merdeka Group (Suara
Merdeka, Wawasan, Cempaka, Harian Tegal, Harian Pekalongan, Harian Semarang,
Harian Banyumas dll.), Bisnis Indonesia Group (Bisnis Indonesia, Solopos,
Harian Jogja, Solopos FM) serta grup perusahaan daerah lain. Era konvergensi
media yang melahirkan para kongomerat media menyebabkan terjadinya pemusatan
kepemilikan media massa, dan timbulnya tarik ulur antara idealisme pers,
kepentingan bisnis dan kepentingan politik. Industri media massa di Indonesia
kini dikendalikan sejumlah pemilik modal yang terkonsentrasi, yang mengarah ke
oligopoli media, bahkan monopoli kepemilikan media (Supadiyanto, 2013).
Jelaslah
adanya oligopoli media, yang mengarahkan terciptanya monopoli media massa
mengancam hak publik dalam mengakses informasi, sebab perusahaan media massa
dikendalikan para pemilik modal dan digunakan untuk mengeruk keuntungan.
Tentunya media masssa menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan bagi
mereka yang mencari kekuasaan. Hal ini terutama terjadi dengan sejumlah pemilik
media yang erat terhubung ke politik. Sebagai contoh sederhana, Aburizal Bakrie
(pemilik Visi Media Asia yang sekaligus menjadi Ketua Umum Partai Golkar),
Surya Paloh (pemilik Media Group dan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat),
Harry Tanoesoedibjo (pemilik MNC Group dan sekaligus politikus Partai Hanura,
sebelumnya pernah bergabung dengan Partai Nasional Demokrat), Dahlan Iskan (bos
Jawa Pos Group sekaligus pejabat pemerintah yang kini menjadi Menteri BUMN),
dll. Sehingga munculnya persepsi publik yang menguatkan bahwa kepentingan para
pemilik media mengancam hak warga dalam memperoleh informasi yang jujur dan
netral, karena para pengusaha media menggunakan media sebagai alat kampanye
politik untuk memengaruhi opini publik. Singkatnya, media telah menjadi sebuah
mekanisme sistematik bagi para pengusaha dan politikus dalam menyampaikan
kepentingan mereka sambil mendapatkan keuntungan dari bisnis.
Dengan
demikian, akan terjadi kompetisi bisnis sekaligus kompetisi politik, sebab para
pengusaha media tersebut juga merangkap profesi sebagai politikus, yang
berkeinginan kuat menjadi pejabat negara di berbagai lembaga eksekutif maupun
legislatif. Terkonsentrasinya kepemilikan media massa di Indonesia pada
sejumlah pengusaha, melahirkan para konglomerat media massa. Sebut saja mereka
misalkan adalah Chairul Tanjung dan Hary Tanoesoedibjo. Berdasarkan data yang
dirilis oleh Majalah Forbes edisi November 2012, dua pengusaha di atas tercatat
sebagai orang terkaya ke-5 se-Indonesia tahun 2012 dengan total kekayaan
mencapai USD 3,4 miliar dan orang terkaya ke-29 se-Indonesia dengan jumlah
kekayaan mencapai USD 1,04 miliar. Sedangkan menurut versi Majalah Globe Asia,
menempatkan Aburizal Bakrie (Visi Media Asia) menjadi orang terkaya ke-9
se-Indonesia, memiliki kekayaan sebesar USD 2,2 miliar, Chairul Tanjung (CT
Group) sebagai orang terkaya ke-24 se-Indonesia dan Hary Tanoedoedibjo (MNC
Group) sebagai orang terkaya ke-26 se-Indonesia, Jakob Oetama (Kompas Gramedia
Group) sebagai orang terkaya ke-46 se-Indonesia, Dahlan Iskan (Jawa Pos Group)
sebagai orang terkaya ke-80 se-Indonesia, Sukamdani Gitosardjono (Bisnis
Indonesia Group) sebagai orang terkaya ke-101 se-Indonesia, Surya Dharma Paloh
sebagai orang terkaya ke-102 se-Indonesia.
Melihat
sejarah pers Indonesia di masa lalu, pada masa Orde Lama berkuasa, Presiden
Soekarno memberikan ruang dan kesempatan kepada pers untuk berkembang; di mana
sebelumnya (prakemerdekaan) pers diposisikan sebagai alat perjuangan di masa
peperangan menjadi alat popaganda negara. Sehingga muncul juga media massa yang
selalu mengkritisi berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah. Partai-partai
politik dan pejabat pemerintah pada masa Orde Lama memiliki surat kabar
sendiri, misalkan Partai Komunis Indonesia (PKI) menerbitkan Bintang Timur dan
ABRI memiliki Berita Yudha, surat kabar Indonesia Raya dimiliki Partai Sosialis
Indonesia, sedangkan Partai Nahdhatul Ulama membuat surat kabar Duta Masyarakat
dan Partai Masyumi membidani lahirnya Abadi, dan Suluh Marhaen adalah media
yang dikuasai Partai Nasional Indonesia (PNI).
Di
masa Orde Baru, kehidupan pers benar-benar diintervensi pemerintah. Lahirlah
peraturan-peraturan yang tak memungkinkan munculnya media massa yang
bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Akibatnya, banyak perusahaan media
massa yang terkena pembreidelan (penghapusan hak terbit), sebagai dampak dari
pemberitaan yang dinilai berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Surat kabar
yang pernah mengalami pembreidelan seperti Kompas, Tempo, Sinar Harapan dll. Di
bidang media elektronik, pada masa itu hanya ada satu stasiun televisi yang
dikendalikan oleh pemerintah yakni TVRI. Pada tahun 1989, lahirlah televisi
swasta nasional pertama bernama RCTI yang dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo
(putra ketiga Soeharto), lantas menyusul kemudian lahir SCTV yang dimiliki oleh
Sudwikatmono (sepupu Soeharto), TPI yang dimiliki Siti Hardiyanti Rukmana
(putri Soeharto), ANTV milik Bakrie Group (Aburizal Bakrie, politikus Golkar),
dan Indosiar milik Agung Laksono (politikus Golkar). Artinya, pada masa Orde
Baru, hanya para keluarga dan kroni Soeharto sajalah yang bisa mendirikan
perusahaan media massa. Bahkan untuk mendukung eksisensi Golkar, didirikan
surat kabar Suara Karya, Harmoko (Menteri Penerangan) memiliki Pos Kota, Peter
Gontha (rekanan bisnis Bambang Trihatmodjo) mendirikan Indonesian
Observer, Sudono Salim (Liem Sioe Liong) mendirikan Indosiar TV, Agung Laksono
dan Aburizal Bakrie mendirikan ANTV, Surya Paloh mendirikan Metro TV (Shen
& Hill, 2000; Ida, 2006, 2009, 2011).
Pada
masa pemerintahan Orde Baru, SIUPP hanya diberikan kepada keluarga Soeharto dan
politisi yang dekat dengan Soeharto. Sehingga hanya sedikit perusahaan media
massa yang berdiri di masa Orde Baru. Karakteristik ruang gerak pers di masa
rezim Orde Baru di bawah Soeharto, yakni adanya pembatasan ruang publik,
termasuk pembatasan yang ketat terhadap kebebasan pers. Pers dibatasi dalam
mengkritik terhadap pemerintah dengan menggunakan berbagai metode, yakni:
sensor formal dan informal, larangan publikasi (baik sementara dan permanen),
pemberlakuan SIUPP yang ketat untuk semua publikasi berita, dan pengawasan dan
kontrol negara terhadap profesi wartawan melalui PWI (McCargo, 2003).
Pada
masa Orde Reformasi, di mana era kebebasan pers sangat dijunjung tinggi,
memunculkan lahirnya berbagai media massa baru dan bahkan media lama yang
pernah terkena pembreidelan oleh penguasa Orde Baru seperti Koran Tempo telah
terbit kembali. Dalam periode sejarah ini, pers benar-benar mengalami kemajuan
pesat. Langkah merger dan akuisisi ditempuh oleh sejumlah perusahaan sebagai
strategi bisnis media yang dinilai ampuh hingga sekarang. Dari tahun 1998-2000
saja tercatat hampir 1.000 perusahaan media yang mendapatkan izin terbit dari
pemerintah, kendati hanya sedikit perusahaan media yang bisa bertahan sebab
terjadi kompetisi bisnis yang sangat ketat. Jumlah media cetak pada awal tahun
1999 sebanyak 289 buah, dan pada tahun 2001 menjadi 1.881 buah.
Akhir
tahun 2010, jumlah media cetak menyusut menjadi 1.076 buah (Data Serikat
Penerbit Surat Kabar, 2011). Surat kabar dengan oplah tertinggi dipegang oleh
Kompas dengan 600.000 eksemplar per hari, Jawa Pos 450.000 eksemplar per hari,
Suara Pembaruan 350.000 per hari, Republika 325.000 eksemplar per ari, Media
Indonesia 250.000 eksemplar per hari dan Koran Tempo dengan 240.000 eksemplar
per hari. Pada tahun 2002, jumlah stasiun radio mencapai 873 buah. Pada tahun
2003, ada 11 stasiun televisi, 186 surat kabar harian, 245 surat kabar
mingguan, 279 tabloid, 242 majalah dan 5 buletin (Gobel and Eschborn, 2005). Bagaimana
peta industri media dalam skala global? Fakta menunjukkan bahwa industri media
massa sedunia hanya dikuasai oleh 6 perusahaan media massa raksasa milik Yahudi.
Perusahaan tersebut adalahVivende Universal, AOL Time Warner, The Walt Disney
Co., Bertelsmann AG, Viacom, dan News Corporation. Enam konglomerasi
media massa dunia tersebut menguasai 96 persen pasar media dunia (Ramdan, Anton
A. 2009). Bahkan menurut Robert W. Mc Chesney pada tahun 2000, penguasa media
massa tinggal 3 perusahaan raksasa (holdings), yang kemudian mereka disebut
sebagai The Holy Trinity of the Global Media System. Chesney merisaukan
dampak dari adanya kenyataan jika kekuataan media sebagai produsen budaya,
produsen informasi politik dan kekuatan ekonomi; terkonsentrasi pada beberapa
orang saja (Chesney, 2000).
Daftar Pustaka: